Berita Komunitas Adat 

Nompongo: Tradisi Masyarakat Da’a

Sosok tua itu bernama Rudi (55), diwajah lusuhnya penuh senyum dan ramah menyambut kami (BPAN dan AMAN Sulteng) yang pada waktu itu datang ke pemukiman mereka untuk mengajar. Tepatnya di Desa Tuva, Kecamatan Gumbasa, Kabupaten Sigi. Minggu (12/05/19)

Tak lama dia mengeluarkan bahan-bahan sirih pinang dari dari tempatnya yang dalam bahasa Da’a disebut Epu. Kamipun tertarik dengan aktifitas bapak yang memakai ikat kepala merah tersebut.

Untuk mengakrabkan suasana saya bertanya menggunakan bahasa Da’a. “Nokuya Komi Etu? (Apa yang anda lakukan?)” tanya saya. “Nompongo” (makan pinang), jawab lelaki tersebut. Kemudian kamipun berbincang seputar Nompongo tersebut.

Mange Rudi mengatakan bahwa Nompongo atau makan sirih pinang merupakan tradisi turun temurun masyarakat Da’a yang hingga saat ini masih dilestarikan. Beliau mengaku sudah melakukan ini sejak usia belasan tahun, hingga saat ini masih makan Nompongo.

“Nasaemo aku Nompongo, da nakedi aku Nompongo. Totua kami Nompongo vo’u ” (Saya sudah lama nompongo, Sejak kecil saya sudah melakukannya. Orang tua saya juga Nompongo), ucap dia

Bahan-bahan untuk Nompongo diantaranya adalah Sambulu (Pinang), Bolu/Legu (Sirih) Tambako/Tugi (Tembako), Toila (Kapur) dan Tagambe (Gambir).

Sebelum dikunyah, bahan-bahan Nompongo terlebih dahulu dimasukkan ke sebuah alat penumbuk yang mereka sebut Porutu. Proses memasukkan dan menumbuk bahan ini dinamakan Norutu.

Porutu memiliki lubangĀ  kecil seperti bambu runcing dan berukuran sekitar 20 cm. tujuannya untuk menghaluskan bahan yang sudah di masukkan.

Seperti yang kita ketahui bahwa memakan sirih pinang dapat menguatkan gigi. Begitu pula yang diyakini oleh masyarakat adat Da’a ini. Menurut Rudi, Nompongo selain menguatkan gigi juga dapat menghindari sakit gigi.

Arman Seli (Infokom AMAN SULTENG)

Related posts

Leave a Comment