Komunitas Adat TANGGAP DARURAT SULTENG 

Cerita dari Masyarakat Da’a di Tuva yang kesulitan mendapat layanan bantuan

Oleh; Fitriani Rizal*

Masyarakat Suku Da’a di Tuva merupakan masyarakat yang dulunya tinggal di Gunung Kondo. Jarak Gunung Kondo dengan perkampungan sekitar 15 km dan hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki. Jarak antara Gunung Kondo dan perkampungan yang jauh menyebabkan masyarakat Da’a ini tidak mengenyam pendidikan seperti masyaraakat biasanya. Sehari-hari aktivitas masyarakat Da’a bergantung pada hasil kebun kemiri dan kakao.

Masyarakat Da’a berasal dari daerah Kamalisi tepatnya di Desa Panasibaja, Marawola Barat. Tujuan awal mereka berpindah ke Gunung Kondo adalah untuk mencari rotan. Menurut pendeta dulunya mereka pindah dan melakukan kawin mawin antar kelompok mereka. Sejauh ini, mereka di pimpin oleh seorang pendeta kristiani (pantekosta). Gempa 28 september memaksa mereka meninggalkan Gunung Kondo karena rumah dan permukiman mereka hancur akibat gempa dan tanaman kakao mereka tidak bisa dipanen.

Bapak Pendeta Muda Suef Pasaribu dianggap pemimpin rohani mereka. Selain memberikan siraman rohani setiap minggu pendeta juga membimbing mereka dari segi tingkah laku. Tingkah laku yang baik seperti apa dan yang tidak boleh dilakukan dalam ajaran kristiani. Menurut bapak pendeta, awalnya jumlah jema’at hanya dua orang, hingga saat ini menjadi 12 kk.

Bantuan yang mereka dapatkan dari komunitas (perkumpulan) gereja serta dari salah satu lapas di palu. Rencana kedepan mereka akan di bangun huntara dan tempat ibadah oleh salah satu lapas yang di Palu.

Tempat mereka pindah saat ini, merupakan tanah hibah dari salah satu jemaat Pak Pasaribu. Namun mereka hanya bisa menempati lahan tapi tidak bisa memanen hasil kakao yang ada di lahan tersebut.

Tempat pengungsian mereka saat ini bersebelahan dengan sungai yang juga dimanfaatkan untuk kebutuhan MCK. Saat ini mereka hanya mengharapkan tanaman kemiri yang mereka tanam, dimana waktu panen tidak menentu.

Kebutuhan yang mendesak menurut mereka ada selimut, pendidikan untuk anak mereka (minimal bisa baca tulis hitung), serta sembako untuk sehari-hari sambil menunggu pekerjaan. Selain itu, mereka juga mengharapkan adanya MCK di tempat pengungsian. Bapak pendeta sudah mencoba untuk mengurus namun air PDAM milik desa memiliki syarat harus warga tetap yang menggunakan. Selain itu, mereka tidak memiliki KTP, KK, kartu nikah dan dokumen kenegaraan lainnya yang membuat PDAM tidak mengabulkan permohonan tersebut. Struktur tanah disana bebatuan sehingga tidak disarankan untuk pembuatan sumur suntik atau dap.

*) Penulis adalah Anggota UNIT RESPON DARURAT AMAN

Related posts

Leave a Comment